Titikberitanusantara.com , Tarakan – Oleh: Nurliani Saputri (Ketua Kohati HMI Komisariat Ekonomi Raya Cabang Tarakan
OPINI – Setiap 1 Mei, dunia memperingati Hari Buruh Internasional—momen yang sejatinya menjadi refleksi atas perjuangan panjang kelas pekerja untuk meraih hak dan keadilan sosial. Di Indonesia, perayaan ini kerap dipenuhi dengan unjuk rasa, orasi, dan tuntutan yang berulang setiap tahun: upah layak, jaminan kerja, perlindungan sosial, serta penghapusan sistem kerja yang eksploitatif.
Ironisnya, meskipun pemerintah dan berbagai lembaga sering menggelar seremoni untuk “menghormati buruh”, realitas di lapangan menunjukkan betapa jauhnya pemenuhan hak-hak tersebut. Fleksibilisasi tenaga kerja yang dibungkus dengan istilah “kemudahan berusaha” dalam regulasi seperti UU Cipta Kerja justru memperlebar ketimpangan: buruh kehilangan kepastian kerja, sementara keuntungan korporasi terus dimaksimalkan.
Hari Buruh seharusnya tidak sekadar menjadi ritual tahunan yang dihiasi slogan kosong. Ia harus menjadi pengingat bahwa tanpa buruh, roda ekonomi akan berhenti. Namun selama buruh hanya dijadikan alat produksi tanpa diberikan keadilan yang layak, maka setiap 1 Mei adalah alarm keras bagi negara untuk bertanggung jawab. Sudah waktunya kita menuntut bukan hanya janji perubahan, tetapi keberpihakan nyata: reformasi perburuhan yang adil, penegakan hukum ketenagakerjaan yang tegas, dan pengakuan penuh atas martabat buruh sebagai manusia—bukan sekadar angka dalam neraca keuangan.
*Perempuan dalam Lanskap Perburuhan*
Dalam dunia kerja, perempuan memegang peran sentral yang kerap terlupakan. Mereka tidak hanya menjadi bagian dari kekuatan produktif, tetapi juga menopang kehidupan sosial-ekonomi dengan beban kerja ganda—di ruang industri dan ruang domestik. Namun kontribusi besar ini tidak diimbangi dengan pengakuan atas hak-hak mereka. Perempuan pekerja masih menempati posisi paling rentan dalam struktur kelas buruh: menerima upah lebih rendah, menghadapi diskriminasi, mengalami kekerasan berbasis gender, dan kerap dikesampingkan dari proses pengambilan keputusan.
*Ketimpangan Struktural dalam Dunia Kerja*
Statistik global dan nasional menunjukkan ketimpangan sistemik: perempuan rata-rata menerima upah 20–30% lebih rendah dibanding laki-laki untuk pekerjaan dengan nilai yang sama. Mereka juga lebih sering bekerja di sektor informal tanpa perlindungan hukum yang memadai. Di pabrik garmen, elektronik, hingga sektor layanan, perempuan menjadi tulang punggung produksi—namun dikondisikan dalam sistem kerja kontrak jangka pendek yang membuat mereka mudah diberhentikan dan sulit mengakses hak-hak dasar seperti cuti hamil, cuti haid, atau asuransi kesehatan.
Viralnya kesaksian pilu para perempuan eks-pemain sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI) membuka luka lama yang selama ini disembunyikan rapat: bahwa di balik gemerlap hiburan publik, terjadi eksploitasi sistematis terhadap tubuh dan martabat perempuan pekerja. Kesaksian tentang disetrum, dikurung di kandang macan, dipekerjakan saat hamil, hingga dipisahkan paksa dari anak adalah cermin telanjang dari wajah perbudakan modern di Indonesia.
Kasus ini bukan sekadar kekerasan individual. Ia menunjukkan betapa lemahnya perlindungan hukum bagi pekerja perempuan di industri hiburan yang minim pengawasan. Ironisnya, ketika negara membanggakan prestasi pariwisata, ia justru menutup mata terhadap praktik perbudakan di dalamnya. Kekerasan struktural ini menegaskan bahwa di Indonesia, menjadi perempuan pekerja berarti terus-menerus berada di ruang abu-abu antara kerja produktif dan pelecehan.
*Eksploitasi di Perkebunan*
Realitas tragis ini tak berdiri sendiri. Di Kalimantan Utara, di tengah hamparan kebun sawit yang disebut sebagai motor ekonomi nasional, buruh perempuan mengalami bentuk eksploitasi serupa: kerja berjam-jam dengan upah di bawah minimum, tanpa perlindungan kesehatan, dan rentan terhadap kekerasan seksual. Banyak dari mereka diikat dalam skema kontrak fleksibel demi menghindari kewajiban jaminan sosial dari perusahaan. Tubuh perempuan kembali menjadi objek ekonomi brutal: di sirkus, mereka dijadikan tontonan; di perkebunan, mereka dijadikan alat produksi murah.
Nasib buruh perempuan di Kalimantan Utara menunjukkan pola eksklusi yang terstruktur: mayoritas tidak memiliki akses terhadap serikat pekerja, suara mereka direpresi, dan keluhan atas kekerasan seksual sering dipadamkan dengan ancaman pemecatan. Baik di arena sirkus maupun di ladang sawit, perempuan pekerja lebih dipandang sebagai alat daripada manusia.
*Negara Absen, Eksploitasi Merajalela*
Kejahatan ini terjadi dalam sistem yang melegitimasi ketidakadilan: perusahaan mengejar keuntungan, sementara negara gagal hadir sebagai pelindung hak. Dalam dua dunia yang tampak berbeda—panggung sirkus dan ladang sawit—logika penindasan yang sama berlaku: perempuan pekerja adalah yang paling mudah dieksploitasi dan yang paling sulit mendapatkan keadilan.
Mengabaikan suara perempuan dalam perjuangan buruh sama saja dengan membiarkan separuh kekuatan proletariat lumpuh. Sebaliknya, mengangkat peran dan hak perempuan pekerja berarti memperkuat seluruh barisan perlawanan terhadap eksploitasi dan ketidakadilan.
Perempuan bukan hanya korban dalam sistem kapitalisme patriarkal, tetapi juga subjek aktif perubahan sosial. Merayakan Hari Buruh juga berarti menegaskan: tanpa keadilan gender, tidak akan pernah ada keadilan kelas yang sejati.
*Marsinah dan Simbol Perlawanan*
Kasus-kasus ini harus menggerakkan kita untuk memahami bahwa perjuangan buruh perempuan bukanlah cerita masa lalu yang selesai di Hari Buruh. Ini adalah tragedi kontemporer yang menuntut jawaban politik dan moral. Negara harus segera merevisi mekanisme perlindungan pekerja perempuan lintas sektor: dari hiburan, perkebunan, manufaktur, hingga sektor informal. Serikat buruh, organisasi perempuan, dan gerakan masyarakat sipil harus bersatu melawan logika ekonomi eksploitatif ini.
Salah satu nama yang menggema dalam sejarah perjuangan buruh Indonesia—dan menunjukkan betapa berisikonya menjadi buruh perempuan yang bersuara—adalah Marsinah. Buruh pabrik asal Sidoarjo, Jawa Timur, ini menjadi simbol keteguhan seorang perempuan melawan ketidakadilan. Ia aktif menuntut kenaikan upah minimum dan menentang tekanan militer terhadap serikat buruh. Karena keberaniannya, Marsinah diculik, disiksa, dan akhirnya ditemukan tewas secara mengenaskan pada 1993. Hingga kini, keadilan untuk Marsinah masih menjadi luka terbuka dalam sejarah bangsa.
Marsinah membongkar banyak lapisan ketidakadilan: kekerasan negara terhadap buruh, pembungkaman suara perempuan, dan lemahnya perlindungan hukum atas hak-hak pekerja. Ia menunjukkan bahwa menjadi buruh bukan sekadar bertahan hidup dengan upah minim, tetapi juga menghadapi risiko kehilangan nyawa saat memperjuangkan hak paling dasar.
Mengingat Marsinah berarti menyadari bahwa buruh perempuan bukan objek belas kasihan, tetapi subjek perubahan. Mereka tidak hanya membutuhkan perlindungan, tetapi hak untuk berorganisasi, bersuara, dan memperjuangkan nasib mereka sendiri. Marsinah adalah simbol bahwa ketidakadilan terhadap buruh—khususnya perempuan—bukan soal masa lalu, tetapi soal struktur sosial-politik yang masih bercokol hingga hari ini.
Eksploitasi terhadap perempuan pekerja—di mana pun itu terjadi—adalah pengkhianatan terhadap prinsip dasar kemanusiaan. Dan selama satu saja perempuan pekerja masih disetrum, dikurung, dilecehkan, atau dipaksa bekerja di bawah ancaman, maka seluruh masyarakat kita ikut bersalah.
Karena diam di hadapan eksploitasi adalah bentuk lain dari kekerasan itu sendiri.
Karena selama ketidakadilan masih ada, semangat Marsinah harus terus hidup dalam diri setiap pekerja yang berani berkata: cukup sudah penindasan ini.
Hari Buruh Internasional adalah hari perlawanan. Selama ketidakadilan masih menjadi kenyataan, maka semangat perjuangan buruh tidak boleh padam. (*/)